Langsung ke konten utama

Tuan



 Tuan. Malam ini aku menatap cakrawala yang dihiasi bebintangan, diatas padang rumput yang luas juga ditemani sahutan suara jangkrik yang memekakan telinga. Ada sebuah tenda yang berdiri gagah di belakangku, juga api unggun yang menyalah garang dekat ujung kakiku, tapi tidak ada kamu di sebelahku. Harusnya aku paham itu. Bahwa semesta takkan membiarkan kita bertemu, apalagi bersatu.

Tuan. Kali ini aku ingin menceritakan dongeng kepadamu. Ya, kau pasti tahu. Pasti dongeng anganku tentang masa depan. Tentang menunggu ajal di hari tua. Dan pasti, aku ingin menghabiskan waktu senja bersamamu. Hanya kamu.

Kelak, nanti. Kita akan berada di rumah kayu yang kokoh. Dikelilingi kebun juga sawah yang luas. Di ketinggian di atas delapan ratus mdpl kita lebih mudah menyaksikan bebintangan juga mendengarkan sang angin malam bersenandung.

Kelak, setiap pagi sebelum kau berangkat mencari sebongkah berlian kau akan terlebih dulu duduk di teras rumah meneguk secangkir teh dan menggigit beberapa keping biskuit. Sebelum pada akhirnya asap di dapur meredup dan tersaji beberapa piring lauk juga ribuan butiran nasi. Kita akan makan pagi bersama ditemani canda tawa dan berakhir aku mencium punggung tanganmu, Tuan.

Kelak, sepulangmu bekerja sudah tersaji makanan kesukaanmu. Lalu menceritakan bagaimana hari ini berlalu. Lalu kecupan mendarat di pipiku juga keningku.

Kelak, di ruang kosong belakang rumah. Akan ada deretan buku yang ku isi dengan tulisan perihal tentangmu, manusia satu yang membuatku luluh. Tentang kita, disatukan waktu dan tak terpisahkan oleh waktu. Juga tentang si buah hati yang akan melengkapi jiwa kita.

Kelak, di sabtu minggu kita akan berlari bersama. Tidak perlu jalur lari di lapangan, kita akan berlari di antara padi yang menguning juga deretan pohon tebu yang menjulang tinggi. Kau juga akan mengajariku bagaimana cara berlindung diri, dari serangan macan ataupun komentar miring.

Kelak, di akhir bulan. Kita akan menghabiskan waktu di gunung. Menginap di Sabana juga mengibarkan sangsaka merah putih di puncak. Bukankah begitu, Tuan?

Tuan. Kelak, kelak dan kelak. Entah semesta kembali merestuiku untuk bertemumu atau justru tidak akan pernah lagi, kau tetap disini Tuan. Tetap berada di singgasana tertinggi di dalam lubuk hati terdalam. Tuan, bila nanti bukan aku yang mendampingi masa tuamu. Setidaknya, bukan dia ataupun mereka. Biarlah hanya semesta. 


Dariku untukmu, Tuan.  


Banyuwangi, 25 Juli 2018.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Patah kan Tumbuh

Kali ini saya kembali. Selalu, dengan derai air mata yang tiada henti. Mungkin benar bahwa terlalu berharap itu tidak pernah bagus, sebab kecewa masih kerap ikut serta bersama sebuah pengharapan. Tapi, ada satu hal yang membuat saya benar-benar merasa bahwa Tuhan selalu adil kepada hambaNya. Dan doa yang terus digemakan akan mendapat balasnya. Entah itu langsung dikabulkan, esok dikabulkan atau justru Tuhan menggantinya dengan yang jauh lebih indah. Saya percaya itu. Hari ini, tepat tanggal tujuh belas bulan ke empat. Ada segala rasa, bahagia juga kecewa. Tuhan banyak memberi kejutan pada hari ini. Setidaknya saya masih diberi kesempatan untuk menghirup udara malam ini, saya bersyukur. Ya, saya hanya akan menceritakan yang bahagia saja. Bukankah kesedihan itu tidak boleh berlarut-larut? Semoga apa yang terjadi hari ini menambah kuat jiwa ini. Ini bukan cerita tentang bintang ataupun beruang, kali ini tidak. Ada sebuah nama yang kerap saya gemakan dalam doa. Dia, seseo...

Tak bisa, Tuhan kita beda

Apa kabar? Hehe, lama tak jumpa. Bagaimana? Sepertinya kau sudah menemukan seseorang yang bisa menemanimu beribadah lalu menyebut nama Tuhan yang sama. Semoga bahagia ya. Apa kau menghitung sudah berapa lama kita tidak lagi melangkahkan kaki bersama? Bercerita tentang untaian cita-cita sambil menertawakan angkasa. Cakrawala menuntun kita pada langkah yang searah padahal ada tujuan yang berbeda diujung sana sambil menggenggam hampa. Sebelumnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Kau terlalu banyak membantuku melangkah, sedang aku terlalu banyak ragu untuk menerima. Kau selalu berusaha menautkan hati, tetapi justru aku menguraikannya kembali. Kau tahu, kali ini aku menghadapi masa lalu. Tentangmu. Kau kapan ada waktu? Aku ingin pergi ke toko buku, mengambil beberapa judul. Kau menertawakan apa yang aku bawa tapi justru kau yang lebih dulu tuntas membaca. Aku ingin kau mengajakku meminum dawet di depan apotek ujung sana. Aku yang tak mau tapi malah habis...