Hai, aku tahu kabarmu sedang baik-baik saja.
Ini, adalah kali pertama aku menulis surat untukmu. Surat pertama yang seharusnya berisi kisah bahagia atau romantisme seperti surat cinta pada umumnya. Iya, ini surat pertamaku yang kutunjukkan untukmu. Kamu, pengisi lembaran hidupku di halaman-halaman yang telah lalu. Lucu ya, seharusnya surat pertama diberikan saat panah dewa amor sedang tertancap tapi kali ini surat pertama harus dituliskan ketika semua sudah berakhir dan memiliki kisah memilih jalan masing-masing.
Tak ada maksud apapun, aku rasa ini hanya sebuah rangkaian ucapan maaf dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Sebentar, aku ingin tertawa. Tidak pernah menyangka ada di titik seperti ini. Aku pikir kita akan menjadi dua orang asing yang sangat asing; karena luka yang aku goreskan kepadamu bukankah sangat dalam? Tapi, memang kamu berhati lapang. Kamu orang baik, yang semestinya dipertemukan dengan orang baik pula; yang jelas mungkin orang baik itu bukan aku.
Maaf ya, hari itu tidak sempat meminta maaf. Sudah seharusnya kau benci bahkan menyimpan dendam. Tapi, ternyata kamu sangat dewasa. Mampu menerima keadaan yang tak pernah disangka sebelumnya dengan sangat lapang dada. Maaf jika segala ekspetasi dan harapan harus dipatahkan demi (aku menyebutnya) kebaikan bersama. Detik itu, ya sudahlah sepertinya tidak ada yang perlu dibahas.
Malam ini, hampir semua memoriku kembali. Tidak seharusnya aku mencoba mengingat semuanya, aku sejahat itu ya ternyata. Aku kembali teringat tengah malam dengan berbagai cerita yang kini hanya bisa ku tertawakan, lembar per lembar yang seharusnya sudah terhapus ternyata kini kembali terbaca. Aksara yang sempat tertahan kini kembali timbul; mampu dieja satu per satu. Bahkan, malam ini. Tumpukan surat darimu, ada di genggaman tanganku. Satu per satu, ternyata kamu tidak pernah salah menuliskan nama panjangku. Selain baik, ternyata kamu hebat.
Maaf ya,
Ku ulang, seharusnya surat pertama hadir sebagai surat dengan sekuntum bunga. Tapi, surat ini justru hadir dengan taburan duka; oh bukan kita sedang bahagia kan? bukan sedang berduka? Baik, aku ralat. Surat dengan taburan bunga.
Aku percaya, kamu memaafkanku jauh-jauh hari. Dan, kamu sudah membuang segala memori buruk yang pernah ku berikan padamu. Semoga dengan segala (aku ingin menyebut ini kebetulan, tapi bukankah tidak ada kebetulan di dunia ini?) kehadiranku yang tiba-tiba ini tidak membuatmu mengingat kembali segala memori buruk itu.
Terima kasih ya, katanya sebagian orang lebih dari tiga ratus enam puluh lima hari bukan waktu yang singkat untuk menjalani sebuah kisah. Walau memang kisah kita tak berjudul, tapi kau pernah menjadi tokoh utama dalam setiap obrolan yang kusampaikan pada khalayak ramai. Terima kasih banyak, atas waktu, tenaga dan mungkin materi. Semua akan tersimpan rapi, dan semoga kelak akan menjadi cerita di bagian tersendiri. Harusnya ini tidak adil, kini di tanganku ada lebih dari empat lembar surat. Tapi aku, hanya berani menuliskan selembar surat saja. Dan itupun aku yakin, mungkin kau tak tahu bahwa aku menulis ini untukmu.
Sudah, itu saja. Doaku satu, bahagia selalu yaa. Dengan siapapun kamu saat ini, dengan bagaimanapun kondisimu saat ini dan dengan apapun semoga bahagia selalu. Selamat, kini dihidupmu tidak akan lagi manusia sepertiku-manusia yang selalu mengganggumu dan membuatmu kerap merasa bingung.
Aku, menuliskan ini tidak bermaksud apapun. Bagiku, apresiasi dengan apa yang sudah usai dengan kisah perjalanan yang lalu perlu kuabadikan dalam karya. Sudah, ini surat pertama dan terakhirku. Semoga kamu sudi membaca.
Dariku,
Ya, anak September yang hobinya marah-marah.
Komentar
Posting Komentar