Langsung ke konten utama

Tra!


Hari itu kala sang mentari bersembunyi di balik awan kelabu. Hari kelima di bulan Mei. Tiga hari setelah pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampus yang akan aku pijak selama empat tahun ke depan. Ya, Tuan. Walau warna almamaterku tidak lagi senada denganmu aku masih sedikit bahagia, setidaknya kita masih ada di kota yang sama

Kau tahu, di luar sana langit serasa ingin menumpahkan air yang telah ditampungnya. Tapi ia masih ragu, kelabu. Padahal pagi ini aku telah berdiri di atas balkon ingin mencurahkan segenap rasa bahagiaku kepada sang mentari. Tapi, semua harus urung. Lagi-lagi mendung.

Tuan. Dering telfon darimu membuat jantungku mendadak ingin melompat dari sangkarnya. Ada rasa bahagia juga takut. Takut kau telah tahu apa tujuanku mengejar kota yang sama dengan dirimu, lalu kau menjauh. Aku takut, Tuan. 

Ra, kau dimana? Surabaya kah? 

Ya, aku di Surabaya

Besok temani aku ke Jakarta, nanti aku jemput. Aku sudah pesan tiket pesawat.

Tuan, sadarkan aku. Ini bukan mimpi kan Tuan? 

Tuan. Hal yang aku inginkan, melakukan perjalanan denganmu sambil kembali bercerirta tentang relief alam yang disaksikan dari ketinggian di balik jendela pesawat akan terwujud. Tuan? Kau tak tahu betapa bahagiaku. Aku meloncat kegirangan hingga ponselku jatuh dan retak. Semoga hanya ponsel saja hatiku tidak turut serta.

Kau datang. Mobil silver yang menemanimu perjalanan dari tanah kelahiran ke tanah rantau terparkir di depan indekos. Kemeja kotak-kotak merah yang sengaja kau biarkan terbuka memperlihatkan kaos putih yang membalut dada bidangmu terlihat. 

“Ra. Kau hanya perlu izin dua hari. Besok kita langsung pulang.” 

Suara gagahmu menambah cepat tempo detak jantungku, Tuan. Semoga saja kau tak mendengar. Ah, Tuan. Satu ekspetasiku telah hilang. Aku yang membayangkan kau akan membawakan ranselku atau sekedar berbasa-basi membawakan barangku, ternyata tidak terwujud. Kau milih menggenggam kunci mobilmu di tangan kanan dan tangan kiri kau masukkan ke dalam saku. Tak apa, aku tetap cinta padamu. Tuan. 

Kita telah berada di udara, ribuan meter dari permukaan laut. Tapi, dinginmu tetap saja beku. Kau memilih untuk menyumbat telingamu dengan earphone lalu memutar lagu sambil memejamkan mata. Ya, tuan. Aku hanya bisa diam. Menatap ke luar jendela lalu bercerita dalam hati. Sesekali memperhatikanmu yang terpejam dengan komat-kamit, mungkin kau sedang mengikuti lirik lagumu.
Tuan, sebentar. Bukankah ini perjalanan liburan yang menyenangkan? Nanti dua hari di Jakarta kita akan makan kerak telok di lapangan sambil memperhatikan puncak monas yang berwarna emas atau bagaimana dengan menikmati sepotong es di Kota Tua. Nantinya akan begitu kan Tuan? Tapi mengapa raut wajahmu sesendu itu, Tuan?

Rembulan dan bebintangan mengiringi langkah kaki kita menuju rumah bercat biru di ujung jalan Kenanga. Revan, begitu dia. Sahabat karibmu di SMP yang sering kau ceritakan. Ia hidup melesat di ibu kota untuk hidup bersama kakak perempuannya, sebab Ibu dan Bapaknya telah tiada. Dia menyambut kita dengan seulas senyumnya yang jauh lebih manis senyummu. 

“Tra ini pacar barumu?” 

Tersedak. Beruntung tidak aku muntahkan isi mulutku lalu menjatuhkan harga diriku sendiri di depanmu. Hatiku menjawab iya dengan keras, Tuan. Tuan, jawab pertanyaan wanita di depanmu itu dengan YA. 

“Tidak, dia Fira. Temanku.”

Ya, harusnya aku selalu sadar. Aku hanya sebatas teman. Sebatas seseorang yang kau cari untuk menemanimu kalau kau mencari sepatu ataupun mengantarmu memangkas rambut yang tumbuh di kepalamu. Aku hanya sebatas teman, tidak akan lebih dari itu. 

Tuan, setelah kau berkata itu. Di dalam kamar aku hanya terdiam. Dan lagi, aku hanya menatap ke luar jendela menyuarakan tangisan hatiku kepada kaca yang menghalangi pandanganku pada bebintangan. Bolehkah aku berharap lebih dari seorang teman, Tuan? Sekali saja.
“Ra, berkemaslah. Kita akan ke bandara satu jam lagi.” 

Mentari baru saja muncul, Tuan. Jarum pendek di jam masih berada di angka Sembilan. Bukankah kau berkata bahwa penerbangan kita pukul lima sore? Lantas mengapa kita harus ke bandara sepagi ini? 

“Ngapain ke bandara jam segini?” Tanyaku mulai keheranan padamu. 

“Menemui seseorang.” Lagi, jawabmu singkat.

Sebelum akhirnya semua barang masuk ke dalam mobil kau bercerita sambil berbisik kepada Revan. Beberapa kali aku harus melihat Revan menepuk pundakmu seolah kau butuh dikuatkan. Ada apa denganmu, Tuan? 

Kau menarik tanganku tanpa membiarkan aku lebih dulu menurunkan tas dari mobil. Kau bilang tidak perlu hanya cukup ikut aku. Penerbangan internasional. Tuan, kau mau mengajak aku kemana lagi? 

“Natra!” 

Teriakan seorang wanita berbehel biru itu membuatmu mempercepat langkah. Kau lari hingga lupa aku tertinggal jauh darimu. Kau memeluk wanita itu hingga kaki wanita itu terangkat. Menyeka air mata yang jatuh di pipi wanita yang memiliki nama panggilan sama sepertimu, Tra. Citra juga teman kan bagimu, Tuan? Lantas mengapa aku merasakan banyak duri di sekujur tubuhku?

Aku berhenti sedikit jauh darimu. Aku menahan sesak ketika sebuah bunga yang kau cium sedari tadi kau berikan kepadanya. Tak lupa kau berikan pula sebuah bingkisan yang kau bawa dengan sepenuh hati sedari kemarin. Tuan, seistimewakah itu dia bagimu?

Di matamu terlihat ada genangan air yang ingin keluar saat itu juga. Tapi sekuat itu kau menahannya, sedang aku, mungkin air mata ini sudah seperti sungai di musim hujan. Ia terus menetes walau aku berusaha menghalaunya. Sakit, Tuan. Sakit. 

Aku melangkah mundur sedikit demi sedikit. Tangan kekarmu kau ulurkan untuk menghapus air mata wanita di depanmu. Bahkan aku sempat melihat kau mencium pipi wanita itu. Tuan, aku disini menahan sesak dalam dada. Mengapa harus di depan mataku? 

Citra melambaikan tangan ke arahmu. Kau membalas lambaian tangan itu, lalu satu bulir air matamu jatuh. Ia mengalir di pipimu hingga akhirnya tersungkur di atas lantai. Aku menguatkan kakiku yang mendadak kehilangan kekuatannya untuk melangkah ke arahmu. 

“Tra? Itu Citra?” 

Kau hanya diam. Memegang dadamu, sebelum pada akhirnya ada sebulir air mata yang jatuh mengalir di pipimu, lagi. Kembali menarik tanganku dan melajukan mobil keluar dari bandara. Kita, berdua. Membelah jalanan ibu kota dengan hiruk pikuknya. Kau masih diam, Tuan. 

“Ra, pernah gak sih kamu suka sama sahabatmu sendiri?”

Aku harus menelan mentah-mentah liurku yang mendadak pahit. Kerongkonganku mendadak kering. Aku bingung harus menjawab apa, Tuan. Sedang itu adalah hal yang aku rasakan saat ini.

“Ra, salah gak sih kalau aku cinta sama Citra?” 

Tuan, hatiku hancur. Baru saja aku berusaha melupakan hal yang aku liat di depan mata, kini telingaku harus terbakar akan pertanyaanmu. 

“Gak salah kok. Kita gak akan pernah memilih kepada cinta akan tumbuh, jadi jatuh cinta dengan siapapun sah-sah saja.”

Sepanjang jalan aku harus menahan rasa sesak dalam dadaku bahkan juga menahan mataku yang memanas. Dengan fasihnya kau menceritakan betapa kau sangat mencintai Citra. Harimu yang katanya lebih berwarna dengan Citra. Tiada waktu yang kau lewatkan seharipun tanpa Citra. Bahkan kau menceritakan dengan penuh cinta. 

Aku mendengarnya hanya bersandiwara ikut bahagia walau sebenarnya sudah luluhlantak. Hancur tak terkira. 

Kita sama Tuan, jatuh cinta dengan sahabat sendiri. Aku mencintaimu dan kau mencintainya. Impas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuan

  Tuan. Malam ini aku menatap cakrawala yang dihiasi bebintangan, diatas padang rumput yang luas juga ditemani sahutan suara jangkrik yang memekakan telinga. Ada sebuah tenda yang berdiri gagah di belakangku, juga api unggun yang menyalah garang dekat ujung kakiku, tapi tidak ada kamu di sebelahku. Harusnya aku paham itu. Bahwa semesta takkan membiarkan kita bertemu, apalagi bersatu. Tuan. Kali ini aku ingin menceritakan dongeng kepadamu. Ya, kau pasti tahu. Pasti dongeng anganku tentang masa depan. Tentang menunggu ajal di hari tua. Dan pasti, aku ingin menghabiskan waktu senja bersamamu. Hanya kamu. Kelak, nanti. Kita akan berada di rumah kayu yang kokoh. Dikelilingi kebun juga sawah yang luas. Di ketinggian di atas delapan ratus mdpl kita lebih mudah menyaksikan bebintangan juga mendengarkan sang angin malam bersenandung. Kelak, setiap pagi sebelum kau berangkat mencari sebongkah berlian kau akan terlebih dulu duduk di teras rumah meneguk secangkir teh dan mengg...

Yang Patah kan Tumbuh

Kali ini saya kembali. Selalu, dengan derai air mata yang tiada henti. Mungkin benar bahwa terlalu berharap itu tidak pernah bagus, sebab kecewa masih kerap ikut serta bersama sebuah pengharapan. Tapi, ada satu hal yang membuat saya benar-benar merasa bahwa Tuhan selalu adil kepada hambaNya. Dan doa yang terus digemakan akan mendapat balasnya. Entah itu langsung dikabulkan, esok dikabulkan atau justru Tuhan menggantinya dengan yang jauh lebih indah. Saya percaya itu. Hari ini, tepat tanggal tujuh belas bulan ke empat. Ada segala rasa, bahagia juga kecewa. Tuhan banyak memberi kejutan pada hari ini. Setidaknya saya masih diberi kesempatan untuk menghirup udara malam ini, saya bersyukur. Ya, saya hanya akan menceritakan yang bahagia saja. Bukankah kesedihan itu tidak boleh berlarut-larut? Semoga apa yang terjadi hari ini menambah kuat jiwa ini. Ini bukan cerita tentang bintang ataupun beruang, kali ini tidak. Ada sebuah nama yang kerap saya gemakan dalam doa. Dia, seseo...

Tak bisa, Tuhan kita beda

Apa kabar? Hehe, lama tak jumpa. Bagaimana? Sepertinya kau sudah menemukan seseorang yang bisa menemanimu beribadah lalu menyebut nama Tuhan yang sama. Semoga bahagia ya. Apa kau menghitung sudah berapa lama kita tidak lagi melangkahkan kaki bersama? Bercerita tentang untaian cita-cita sambil menertawakan angkasa. Cakrawala menuntun kita pada langkah yang searah padahal ada tujuan yang berbeda diujung sana sambil menggenggam hampa. Sebelumnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Kau terlalu banyak membantuku melangkah, sedang aku terlalu banyak ragu untuk menerima. Kau selalu berusaha menautkan hati, tetapi justru aku menguraikannya kembali. Kau tahu, kali ini aku menghadapi masa lalu. Tentangmu. Kau kapan ada waktu? Aku ingin pergi ke toko buku, mengambil beberapa judul. Kau menertawakan apa yang aku bawa tapi justru kau yang lebih dulu tuntas membaca. Aku ingin kau mengajakku meminum dawet di depan apotek ujung sana. Aku yang tak mau tapi malah habis...