Langsung ke konten utama

Postingan

Surat Tengah Malam

 Hai, aku tahu kabarmu sedang baik-baik saja.  Ini, adalah kali pertama aku menulis surat untukmu. Surat pertama yang seharusnya berisi kisah bahagia atau romantisme seperti surat cinta pada umumnya. Iya, ini surat pertamaku yang kutunjukkan untukmu. Kamu, pengisi lembaran hidupku di halaman-halaman yang telah lalu. Lucu ya, seharusnya surat pertama diberikan saat panah dewa amor sedang tertancap tapi kali ini surat pertama harus dituliskan ketika semua sudah berakhir dan memiliki kisah memilih jalan masing-masing. Tak ada maksud apapun, aku rasa ini hanya sebuah rangkaian ucapan maaf dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Sebentar, aku ingin tertawa. Tidak pernah menyangka ada di titik seperti ini. Aku pikir kita akan menjadi dua orang asing yang sangat asing; karena luka yang aku goreskan kepadamu bukankah sangat dalam? Tapi, memang kamu berhati lapang. Kamu orang baik, yang semestinya dipertemukan dengan orang baik pula; yang jelas mungkin orang baik itu bukan aku. Maaf...
Postingan terbaru

Coba tanya hatimu

Tabik, Mengapa kau harus bersusah payah merobohkan jati dirimu hanya untuk seseorang yang jangankan peduli, melihatmu saja tak sudi. Kau bayangkan keindahan musim semi, yang datang justru hujan yang tak ada henti. Kau dikoyak perasaan tak bersasaran. Mengapa kau selalu berada di garis terdepan mengulurkan tangan agar ia tak terjatuh, tapi kau justru menceburkan dirimu sendiri kedalam lubang yang paling dalam. Mengapa kau selalu sigap untuk menyiapkan kaki agar ia tak tersandung, namun kau malah tersungkur. Mengapa kau merelakan semua waktumu untuknya sedang ia tidak pernah sedikitpun menyisihkan waktu untukmu. Kau pikir semua perjuanganmu untuknya akan membuatnya luluh lalu perlahan melihatmu. Tidak. Kau hanya membunuh dirimu sendiri dengan mencintai orang yang tidak akan mampu kau genggam walau hanya bayangnya saja. Ada kalanya kau perlu menepis semua rasa yang ada. Berhenti menjadi manusia bodoh hanya karena cinta yang tak memiliki rasa yang sama. Coba kau tany...

Setelah semua kita lalui bersama, haruskah kita menyerah?

Mau bagaimana lagi?   Cinta ini sudah hilang arti. Haruskah berhenti disini?   Beberapa waktu ini kita bercela, tak lagi saling bertukar kabar apalagi cerita. Melewati ruang hampa memang tak mudah. Apalagi untuk kita yang terlanjur binasa.  Sejauh ini, kita telah melewati rangkaian jalan setapak yang disiapkan semesta. Dari tertatih hingga berlari. Dari merangkak hingga meloncat. Bukan hanya waktu yang termakan lama, tapi tenaga juga rasa. Katamu, kita terlalu kuat untuk dipisah. Nyatanya kita kalah dengan pihak ketiga. Entah, siapa yang salah. Rasanya, cinta tak mungkin salah arah. Kita dulu sebatas teman, lalu hanyut terbawa perasaan. Sebuah rasa tak bertuan mengantarkan pada titik kehancuran.    Hingga hal yang dibangun lama harus hancur berantakan. Tak terhitung berapa purnama yang melintasi cakrawala menyaksikan kita yang berulang kali mengucap kata setia dan selamanya. Namun, semua hanya buaian belaka. Kau bilang aku hanya terbak...

Tak bisa, Tuhan kita beda

Apa kabar? Hehe, lama tak jumpa. Bagaimana? Sepertinya kau sudah menemukan seseorang yang bisa menemanimu beribadah lalu menyebut nama Tuhan yang sama. Semoga bahagia ya. Apa kau menghitung sudah berapa lama kita tidak lagi melangkahkan kaki bersama? Bercerita tentang untaian cita-cita sambil menertawakan angkasa. Cakrawala menuntun kita pada langkah yang searah padahal ada tujuan yang berbeda diujung sana sambil menggenggam hampa. Sebelumnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Kau terlalu banyak membantuku melangkah, sedang aku terlalu banyak ragu untuk menerima. Kau selalu berusaha menautkan hati, tetapi justru aku menguraikannya kembali. Kau tahu, kali ini aku menghadapi masa lalu. Tentangmu. Kau kapan ada waktu? Aku ingin pergi ke toko buku, mengambil beberapa judul. Kau menertawakan apa yang aku bawa tapi justru kau yang lebih dulu tuntas membaca. Aku ingin kau mengajakku meminum dawet di depan apotek ujung sana. Aku yang tak mau tapi malah habis...

Tra!

Hari itu kala sang mentari bersembunyi di balik awan kelabu. Hari kelima di bulan Mei. Tiga hari setelah pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampus yang akan aku pijak selama empat tahun ke depan. Ya, Tuan. Walau warna almamaterku tidak lagi senada denganmu aku masih sedikit bahagia, setidaknya kita masih ada di kota yang sama Kau tahu, di luar sana langit serasa ingin menumpahkan air yang telah ditampungnya. Tapi ia masih ragu, kelabu. Padahal pagi ini aku telah berdiri di atas balkon ingin mencurahkan segenap rasa bahagiaku kepada sang mentari. Tapi, semua harus urung. Lagi-lagi mendung. Tuan. Dering telfon darimu membuat jantungku mendadak ingin melompat dari sangkarnya. Ada rasa bahagia juga takut. Takut kau telah tahu apa tujuanku mengejar kota yang sama dengan dirimu, lalu kau menjauh. Aku takut, Tuan.  Ra, kau dimana? Surabaya kah?  Ya, aku di Surabaya Besok temani aku ke Jakarta, nanti aku jemput. Aku sudah pesan tiket pesawat. Tuan, sad...