Apa kabar?
Hehe, lama tak jumpa.
Bagaimana?
Sepertinya kau sudah menemukan seseorang yang bisa menemanimu beribadah lalu
menyebut nama Tuhan yang sama. Semoga bahagia ya.
Apa kau
menghitung sudah berapa lama kita tidak lagi melangkahkan kaki bersama?
Bercerita tentang untaian cita-cita sambil menertawakan angkasa. Cakrawala
menuntun kita pada langkah yang searah padahal ada tujuan yang berbeda diujung
sana sambil menggenggam hampa.
Sebelumnya,
izinkan aku berterima kasih padamu. Kau terlalu banyak membantuku melangkah,
sedang aku terlalu banyak ragu untuk menerima. Kau selalu berusaha menautkan
hati, tetapi justru aku menguraikannya kembali.
Kau tahu,
kali ini aku menghadapi masa lalu. Tentangmu. Kau kapan ada waktu?
Aku ingin
pergi ke toko buku, mengambil beberapa judul. Kau menertawakan apa yang aku
bawa tapi justru kau yang lebih dulu tuntas membaca.
Aku ingin
kau mengajakku meminum dawet di depan apotek ujung sana. Aku yang tak mau tapi
malah habis lebih dulu.
Minggu pagi
sebelum kau berangkat menghadap Tuhanmu, kau selalu lebih dulu mengajakku
menghabiskan semangkok bubur ayam tanpa kacang. Menceritakan apa yang akan kau
kerjakan hari ini. Dari hal sederhana hingga tak ada yang mau mengalah.
Kala senja, ribuan raga lebih gemar memadati pesisir untuk melihat cermin jingga kau justru lebih suka memboncengku sambil menyanyikan lagu-lagu rohanimu, bahkan sesekali kau memintaku melantunkan ayat suciku.
Serindu
itu,
Sebelum
semua harus disudahi,
“Jadi
milikku ya? Aku janji kau akan selalu bahagia bersamaku.”
“Aku
ragu.”
“Kenapa?”
“Aku
tidak bisa.”
“Mengapa?
Apa Karna penyebutan nama Tuhan kita berbeda? Karna kau memakai jilbab dan aku
memakai kalung salib? Karna kau melangkah ke masjid sedang aku di gereja?”
“Bukankah
cinta tak harus memiliki ya? tak apa, kita tetap bersama. Ya?”
“Kali ini
aku yang tak bisa.”
Runtuh,
Di titik
itu kau berbalik arah, kita tak lagi melangkah bersama.
Memang,
tak bisa.
Tuhan
kita berbeda.
Komentar
Posting Komentar